HUKUM ADAT di 5 DAERAH

Hukum Adat/Kebiasaan

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.



1. Hukum Adat Bali

Hukum adat adalah endapan rasa kesusilaan masyarakat yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menjadi aturan Hukum Adat Bali setidaknya telah mengalami proses yang teruji oleh waktu (berulang dari waktu ke waktu) dengan penilaian berdasarkan Tri Samaya (atita: penyesuaian dengan masa lampau; wartamana: penyesuaian dengan masa sekarang; nagata: penyesuaian dengan masa yang akan datang); Tri Pramana (praktyasa: berdasarkan pengelihatan langsung;anumana: berdasarkan kesimpulan logis; agama: berdasarkan pemberitahuan orang yang layak dipercaya); serta rasa, utsaha, dan lokika.                                                                      Hukum Adat Bali selalu mengusahakan adanya keseimbangan triangulasi antara Tuhan, manusia, dan alam (Tri Hita Karana). Pelanggaran terhadap hukum adat dianggap menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis sekala-nislaka. Setiap perbuatan yang menggangu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan prajuru desa pakraman perlu mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan kembali harmoni yang terganggu. Maka pemulihan itupun mencakup dunia sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata), yang berwujud pamidanda (hukuman) berupa sangaskara danda (hukuman dalam bentuk pelaksanaan upacara), artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau harta), dan jiwa danda (hukuman pisik dan psikis). Penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum adat umumnya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi sudah disyaratkan wenang mesor singgih manut ring kasisipan ipun (berat ringannya hukuman harus sesuai dengan tingkat kesalahannya atau pelanggarannya). Dalam hal ini wiweka prajuru desa pakraman sangat menentukan. Pelaksanaan hukum adat termasuk sanksi adat selalyu mengutamakan kerukunan dan rasa kepatutan dalam masyarakat. Selain itu sanksi adat bersifat edukatif, mengutamakan upaya penyadaran dan tuntunan.







Contoh Kasus

Perkara pelanggaran hukum campuran yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah kasusmemitra (perzinahan) yang terjadi di Banjar Bia antara WL (48 tahun), seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas, dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa Sukawati. Dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa Keramas, Kelihan Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan bahwa WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi). Perkara ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena disatu sisi merupakan pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif (Nasional), yang tertera dalam KUHP.Berdasarkan kasus delik adat diatas, bandingkanlah pemidanaan menurut Kaidah-kaidah dalam Hukum Pidana (KUHP) dengan pemidanaan dalam Hukum Adat.
Analisis

Jika kita melihat kasus hukum yang terjadi kepada wanita yang berinisial (WL) tersebut atas perbuatan yang dilakukannya bersama kekasihnya yang berinisial (MJ), maka untuk kasus hukum dalam KUHP kita adalah tidak dapat dipidana. Hal ini dikarenakan bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan tersebut dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat melakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut.                                               Namun, akan berbeda kasusnya jika salah satu dari keduanya telah terikat dalam ikatan perkawinan seperti pada kasus di atas yang si pelaku prianya sudah memiliki istri dan anak. Jika kasus tersebut dalam suatu ranah perkawinan maka perbuatan tersebut dapat dipidana, karena hal yang dilakukan adalah sebuah perselingkuhan yang dapat dijerat dengan delik pidana mukah (perzinahan), jika terdapat pengaduan yang resmi dari salah satu atau kedua belah pihak. Delik mukah (zina) dapat dilihat di pasal 284 KUHP.                          

Pasal 284 KUHP berisi tentang kejahatan terhadap kesusilaan                                         1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:                                                    1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,                                                                              1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,                                                                                                        2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin,

            2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.  

2. Hukum Adat Gorontalo

Gorontalo sebagai salah satu dari 19 Daerah Hukum Adat Indonesia menurut Prof. MR. C. VAN VOLLEN HOVEN sangat menghormati Adat dan Budaya sebagai satu kesatuan yang utuh dan merupakan norma yang ditaati dalam kehidupan bermasyarakat.

Sebelum agama Islam masuk di Gorontalo, tata cara kehidupan masyarakat Gorontalo sudah terkenal sebagai masyarakat adat yang ramah tamah baik didalam bertutur kata, bersikap maupun bertindak sehingga tingkah laku ( Popoli ) menjadi pola utama dan dasar penilaian dari kehidupan seseorang dan sesamanya.

Dari segi berbahasa dan bersikap untuk menyatakan perasaan kepada orang lain atau menyampaikan informasi kepada seseorang lebih disenangi menggunakan bahasa ungkapan dari pada bahasa langsung.

Bahasa ungkapan itu telah melahirkan bahasa seni dalam masyarakat Gorontalo berupa sajak-sajak, syair-syair yang bertujuan menciptakan suasana damai antar sesama sebagaimana sajak sebagai berikut :

-              Opiyohe lo Dudelo = Dengan pembawaan yang baik.

-              Openu Dila Motonelo = Tidak perlu di biayai

-              Opiyohe lo loiya = Dengan tutur kata yang baik

-              Openu dila Tidoiya = Tidak perlu dengan uang.

( sajak tersebut diatas memberikan gambaran tentang keterkaiatan antara materi dan moral ).

Pada dasarnya nilai moral dalam kehidupan masyarakat Gorontalo sangat diutamakan, karena dengan moral yang baik, akan menciptakan kondisi yang aman dan sentosa bagi kehidupan masyarakat, sehingga sifat buruk selalu mendapat tantangan bahkan mendapat sanksi baik langsung dari masyarakat maupun dari Olongiya ( Raja ).


Contoh Kasus

GORONTALO – Sempat aman selama lebih dari sepekan, kasus pencurian di Gorontalo marak lagi.

Masyarakat pun kembali dibuat resah. Baik rumah, kantor, pusat perbelanjaan, hingga sekolah sudah tak aman dari bidikan para pelaku. Kemarin saja, (18/8), tiga warga mengadu menjadi korban kasus ini.

Informasi yang dirangkum Gorontalo Post, kasus pertama dilaporkan Ismail Pautina, warga Desa Dutohe Barat, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango (Bonbol). Rumahnya dibobol maling.

Pelaku berhasil membawa kabur celengan milik anaknya yang berisi uang Rp 3 Juta. Kejadian tersebut terjadi, Senin (15/8) sekitar pukul 08.30 Wita.
Selanjutnya, Imran Naki (54) warga Desa Pauwo, Kecamatan Kabila, Kabupaten Bone Bolango (Bonbol). Ia melaporkan SH alias Eman (27) warga yang sama karena diduga telah mencuri ternak sapi miliknya.

Kejadianya Sabtu (13/8), sekitar pukul 08.00 Wita. Saat itu Imran bermaksud memindahkan sapinya yang terikat di kebun belakang.

Namun ia terkejut melihat sapi miliknya sudah tak ada lagi. Padahal ia mengikat sapinya tersebut saat pagi hari. Setelah melakukan penelusuran Imran mendapatkan informasi, Imran mendapatkan informasi sapinya itu diduga dibawa SH. Tanpa mencari tahu lebih jauh, Ia pun langsung melaporkan kasus ini ke Polres Bonbol.

Selain kedua kasus yang terjadi di wilayah Bonbol itu, kemarin, pula Andi Irfan Iskandar warga Kelurahan Molosipat U, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo mengadukan kasus Curnamor yang menimpanya. Sepeda motornya jenis Yamaha Mio GT DM 3680 BU hilang di parkiran salah satu SMA unggulan di Kota Gorontalo.

Informasi yang dirangkum Gorontalo Post, kejadian bermula ketika Andi memarkir sepeda motornya di tempat parkir kompleks Lapangan Basket sekolah setempat.

Autentik Lambango = Melangkahi hak-hak orang lain

    Contoh kasus : Pencurian, penyerobotan dll

    Ancaman hukuman : Didera/dicambuk 25 s/d 50 kali



3. Hukum Adat Aceh 

ACEH adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.

Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara. Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut.

Maka Dari itu dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan orang banyak  biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun. Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti terlihat di Gampong Baroe. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat Gampong Baroe sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.

Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan.
 Sebuah kasus pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lampu’uk selisih paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.



Contoh Kasus

- Kejaksaan Negeri (Kejari) Banda Aceh mengeksekusi cambuk 8 pelaku khalwat dan 4 orang pelaku judi. Mereka dicambuk di muka umum di Masjid Lamteh, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Senin (20/3).

Eksekusi ini disaksikan oleh ratusan warga yang memadati sekeliling panggung tempat terhukum dicambuk. Terhukum kemudian dipanggil satu per satu ke atas panggung dan kemudian dicambuk oleh algojo yang memakai baju terusan dan menggunakan topeng.

Adapun terhukum khalwat yang melanggar Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat ada 4 pasang. Yaitu berinisial IS dan NP masing-masing dicambuk 24 kali. Lalu ada MJ dan MY dicambuk 21 kali, terhukum MG dan CA (17) serta MF dan SZ dicambuk 22 kali.

Sedangkan pelaku judi berinisial ES, DPT, MAH dan RH. Masing-masing mereka diganjar 7 kali cambuk di muka umum. Setelah selesai dicambuk, semua terhukum langsung bebas.

Prosesi hukum cambuk kali ini berjalan lancar. Semua terhukum bisa menjalani hukuman cambuk tanpa ada yang tumbang seperti pernah terjadi sebelumnya.

Kabid Penegakan Syariat Islam, Polisi Syariat Islam Kota Banda Aceh, Evendi A Latif mengatakan, semua terhukum cambuk itu diputuskan oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh Rabu lalu. Lalu setelah ada putusan, langsung dijadwalkan untuk dilakukan cambuk.


"Khusus untuk khalwat itu kasus tahun lalu, ditangkap sekitar bulan Desember tahun lalu," kata Evendi A Latif usai cambuk digelar.

Sedangkan kasus perjudian sebanyak 4 orang, sebutnya, semua mereka ditangkap oleh pihak Polresta Banda Aceh. Kemudian pihak kepolisian menjerat pelaku judi ini dengan qanun Jinayat.

"Yang judi polisi yang tangani, mereka ditangkap di Peunayong saat sedang main judi domino," jelasnya.

 Autentik Qanun Jinayat yang disahkan mengatur sejumlah sanksi bagi warga Aceh , khususnya kaum Muslim dan non Muslim yang terbukti terlibat kasus pemerkosaan, perzinaan, pelecehan seksual, pemerkosaan anak, mesum, judi, minum minuman keras yang memabukkan, termasuk memuat sanksi terhadap hubungan intim dengan pasangan sejenis, gay dan lesbian.

4. Hukum Adat Madura (Jawa Timur)

Kata carok berasal dari bahasa Madura yang berarti “bertarung dengan kehormatan”. Pengertian dari carok yaitu suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat), menggunakan senjata tajam, pada umumnya celurit, yang dilakukan oleh orang laki-laki (tidak pernah perempuan) terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri, sehingga membuat malo (malu). (A. Latief Wiyata, 2006 ; 184).

Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini, karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku madura dalam mempertahankan harga diri dan keluar dari masalah yang pelik.

Akan tetapi tetap ada aturan-aturan main yang melingkupinya, yaitu pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, seolah dijadikan komunikasi terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan mayat terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Akan tetapi jika posisi mayat tertelungkup dengan muka menghadap tanah, maka balas dendamnya tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.





Contoh Kasus

Pagi itu, 12 Juni, Mursyidin dan beberapa pendukungnya bermaksud bertemu dengan Baidlowi untuk membicarakan soal tanah. Rumah dua orang petinggi desa ini hanya berjarak sekitar 500 meter saja. Ada enam mobil yang berangkat ke rumah Baidlowi, sisanya berjalan kaki. Tapi ternyata Baidlowi tak ada di rumah. Karenanya, rombongan Mursyidin pun bermaksud pulang.

Tapi baru berjalan beberapa ratus meter, ternyata sudah ada ratusan pendukung Baidlowi yang menghadang. Tentu dengan membawa celurit. Tiba-tiba saja ada suara ledakan bondet, istilah setempat untuk bom ikan. Rombongan Mursyidin buyar dan panik. Sebagian lari. Sebagian lagi melawan pendukung Baidlowi, saling serang dan bacok di atas lahan percaton yang diperebutkan itu.

Mursyidin yang membawa serta ibunya berusaha bersembunyi di sebuah rumah kosong. Tapi usahanya ketahuan. Beberapa orang kemudian menyeret keluar Mursyidin dan kemudian menyerangnya dengan celurit. Sang ibu berusaha melindungi anaknya, tapi turut dihujani sabetan celurit. Ibu dan anak ini pun tewas di tempat.

Polisi yang hanya berjumlah belasan tentu tak bisa berbuat banyak menghadapi ratusan massa yang kalap. Mereka baru bubar setelah ratusan polisi datang. Dari 7 orang korban tewas, 5 orang berasal dari kubu Mursyidin, termasuk Mursyidin dan ibunya. Sisanya pendukung Baidlowi.

Meski banyak disebut sebagai carok massal, banyak orang tak setuju kalau tragedi ini disebut sebagai carok. Pasalnya, carok tak pernah melibatkan perempuan. Di tragedi ini, satu orang perempuan tewas, yakni ibu Mursyidin.

"Ini peristiwa kriminal," kata Adang Ginanjar.

Ada 5 orang yang kemudian ditangkap, termasuk Baidlowi, yang ditangkap dalam persembunyian di tengah hutan Desa Talang Siring. Mereka menjalani hukuman beragam. Dari 8 tahun hingga 13 tahun.

Autentik Carok termasuk dalam kategori tindak kejahatan yang dapat menimbulkan penderitaan dan bahkan menghilangkan nyawa seseorang, maka carok dipandang dari sudut KUHP dilarang sebagaimana penjelasan pasal 338 dan 340 KUHP:

1.Kutipan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan terhadap Nyawa orang.

Pasal 338

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pasal 340

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” .

2.Kutipan Kitab Undang-undang Pidana tentang

Penganiayaan Pasal 351

(1)  Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyaknya-banyaknya empat ribu lima ratus ribu rupiah.

(2)  Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

(3)  Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(4)  Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.


Pasal 353


(1)  Penganiayaan dengan direncanakan lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun.

(2)  Jika perbuatan itu berakibat luka berat, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(3)  Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.


Pasal 354

(1)  Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dipidana karena penganiayaan berat, dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun.

(2)  Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun.


Pasal 355

(1)   Penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.

(2)   Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.



 5. Hukum Adat Papua 
MASYARAKAT Papua tidak hanya memiliki keunikan di bidang sosial dan budaya, tetapi juga persoalan hukum pun sangat unik. Dari 310 suku di Papua masing-masing memiliki hukum adat tersendiri yang masih bertahan hingga kini. Hukum adat lebih dominan dalam kehidupan masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan pihak korban daripada hukum positif.
WAKIL Ketua Pengadilan Negeri Timika Johanes Panji Prawoto, Jumat (23/4), mengatakan, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat daripada penyelesaian sesuai hukum positif. Padahal, hukum ini mengikat seluruh warga negara untuk menaati dan menjalankan hukum perdata maupun pidana.
Persoalannya, hukum adat lebih menguntungkan korban atau penggugat daripada hukum pidana atau perdata. Denda berupa hewan ternak, uang, tanah, dan harta benda lain yang harus ditanggung pelaku terhadap korban, bahkan denda-denda macam itu bisa bernilai miliaran rupiah. Denda seperti itu jelas lebih berat bila dibandingkan dengan putusan di pengadilan negeri (PN).
“Di sini, kasus pembunuhan misalnya. Mereka selalu menyebut dalam bahasa adat, ’ganti rugi kepala manusia’ atau mengganti benda yang bernilai miliaran rupiah. Jika tidak dalam bentuk uang, diganti ternak babi sampai ratusan ekor. Apalagi menyangkut kasus asusila. Pihak pelaku harus mampu menunjukkan kepada keluarga wanita bahwa ia berani berbuat dan berani juga bertanggungjawab,” kata Panji.
Oleh karena itu, masyarakat lebih suka menyelesaikan semua perkara secara adat. Kadang-kadang kasus itu telah dilimpahkan polisi ke kejaksaan, tetapi pihak keluarga korban menolak untuk diproses sesuai hukum positif. Pihak keluarga korban tetap berusaha agar diselesaikan secara adat. Di sisi lain, keluarga tersangka/pelaku menghendaki kasus itu diselesaikan di pengadilan negeri.
Adapun Karel Beanal, Wakil Ketua Lembaga Adat Suku Amungme Mimika mengatakan, masyarakat lebih tertarik menyelesaikan semua kasus di melalui hukum adat karena masyarakat menilai hukum adat lebih adil dan dipahami semua warga. Hukum adat sejak nenek moyang telah diterapkan di kalangan masyarakat dan mereka tahu bagaimana cara mengambil keputusan di dalam musyawarah adat itu.
Dalam pelaksanaan hukum positif banyak terjadi penyelewengan dan pembohongan terhadap masyarakat kecil terutama di pengadilan. Masyarakat kecil, tidak berduit, selalu menjadi korban ketimbang mereka yang berduit. Dalam hal ini, warga Mimika selalu tak berdaya ketika berhadapan dengan sang pengadil di PN Mimika.
“Korupsi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah oleh para pejabat dibiarkan. Kalau sampai ke pengadilan pun dibebaskan. Sementara masyarakat kecil yang mencuri ayam satu ekor dihukum sampai enam bulan penjara. Putusan itu sangat menyiksa masyarakat kecil yang selalu bergantung pada sumber daya alam dan dari perjuangan sendiri,” kata Beanal.
Masyarakat yang tidak memiliki penghasilan tetap tidak mampu membayar para jaksa, hakim, dan pengacara. Karena itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam proses pengadilan pun sangat kecil.
Ditambahkan Ruben Magay, tokoh agama Nabire, keadilan di pengadilan negeri saat ini sulit ditemukan. Pengadilan bukan untuk menghukum yang salah dan membela yang benar tetapi membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Ketidakadilan di bidang hukum tidak hanya terjadi di daerah, tetapi mulai dari Jakarta sampai ke pelosok terpencil seperti di Papua. Di tengah kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan masyarakat Papua, orang masih tega-teganya mencari keuntungan pada setiap proses peradilan.
Praktik pengadilan lebih banyak merugikan korban karena mereka tidak memiliki uang. Kondisi ini mendorong masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui hukum adat daripada hukum positif.
Hukum adat tidak menuntut pihak korban mengeluarkan anggaran besar untuk musyawarah adat. Semua kebutuhan dalam proses hukum adat ditanggung para pelaku terutama dalam kasus asusila.
Data di Pengadilan Tinggi Papua menunjukkan, tahun 2003 di sembilan PN di Papua terdapat 462 perkara terdiri dari 240 kasus perdata dan 222 kasus pidana. Dari jumlah ini 75 persen terdapat di Kota Jayapura, sebagian menyebar di delapan kabupaten lain.
Izin penyitaan yang dikeluarkan sembilan PN di Papua ditujukan kepada sembilan polres di Papua selama tahun 2003 sebanyak 4.500 surat izin. Tetapi perkara yang dilimpahkan ke sembilan PN terkait dengan izin penyitaan itu hanya 34 kasus. Artinya, sebagian besar perkara itu tidak sampai di pengadilan.
Menurut Panitera Sekretaris PN Timika Munawir Kossah sebagian besar perkara diselesaikan secara adat atas dukungan kepolisian. Kedua pihak ingin menyelesaikan perkara itu secara damai dan kekeluargaan di bawah bimbingan kepolisian. Ada pula perkara yang dihentikan penyidikan di kepolisian dengan alasan tidak cukup bukti untuk dilanjutkan ke pengadilan.
Mereka yang perkaranya sampai di pengadilan sebagian besar adalah warga pendatang. Dapat disebutkan, sembilan PN di Papua lebih banyak menyidangkan perkara warga pendatang yang berdomisili di Papua daripada penduduk lokal. Kasus terbanyak adalah perselingkuhan, perceraian, pencurian, dan penganiayaan.
Bagi warga pendatang, penyelesaian perkara melalui pengadilan jauh lebih menguntungkan daripada secara hukum adat masyarakat lokal. Dalam kasus hak ulayat misalnya, warga pendatang lebih suka menyelesaikan di pengadilan, sementara warga lokal ingin menyelesaikan secara adat.
Menurut Yance Pattiran, hakim PN Nabire, keuntungan yang diperoleh masyarakat yang berperkara melalui hukum adat jauh lebih besar dibandingkan dengan hukum formal. Tuntutan hukum adat mencapai miliran rupiah, ditambah ternah babi, dan berbagai jenis perhiasan. Keuntungan seperti itu tidak diperoleh melalui pengadilan.
Keuntungan dari tuntutan hukum adat, tidak hanya bagi korban, tetapi hampir seluruh anggota keluarga yang dekat dengan korban atau semua anggota suku itu. Karena itu, dukungan dari suku terhadap korban sangat besar, dan bila pihak pelaku tidak memenuhi tuntutan adat, akan berbuntut pada perang antara suku.
Kasus yang sering melahirkan persoalan krusial di masyarakat adat adalah hak ulayat dan perzinahan atau asusila. Kasus ini sering berakhir dengan perang suku karena tidak ada kesepakatan antara kedua pihak. Misalnya, tuntutan keluarga korban agar pelaku membayar ganti rugi sampai Rp 2 miliar ditambah ternak babi mencapai ratusan ekor. Pihak pelaku menilai bahwa tuntutan keluarga korban terlalu berat dan sulit dipenuhi.
Jika negosiasi kedua pihak tidak mencapai kesepakatan bersama, keputusan akhir adalah perang adat. Perang ini untuk membuktikan siapa yang paling benar dalam kasus tersebut. Pihak yang kalah diyakini telah melakukan kebohongan, pihak yang menang dinilai telah bertindak jujur dan adil.
Perang adat tidak brutal. Perang itu harus disepakati kedua pihak terutama menyangkut jumlah anggota suku yang terlibat perang, tempat, waktu, dan kesepakatan mengenai perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh di dalam perang. Perang hanya berlangsung di zona yang telah ditetapkan bersama. Bila kedua pihak saling bertemu di tempat lain, tidak akan ada permusuhan.



Contoh Kasus
Peristiwa penyanderaan warga oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Tembagapura, Papua, sejak Kamis (9/11), sampai kini masih berlangsung. Menurut kepolisian, sebanyak 1.300 orang Desa Kimbely dan Desa Banti dilarang keluar kampung tersebut oleh kelompok bersenjata.
Warga dua desa tidak bisa bepergian untuk mencari kebutuhan pokok sehari-hari. Sekitar 300 orang di antaranya merupakan warga non-Papua yang pernah bekerja sebagai pendulang emas. Akses menuju kedua kampung telah diuruk kelompok penyandera. Mereka menguasai betul teritori setempat.
Kepolisian Daerah Papua bahkan telah menetapkan status buron terhadap 21 orang terkait aksi teror di Tembagapura itu. Mereka Ayuk Waker, Obeth Waker, Ferry Elas, Konius Waker, Yopi Elas, Jack Kemong, Nau Waker dan Sabinus Waker. Kemudian, Joni Botak, Abu Bakar alias Kuburan Kogoya, dan Tandi Kogoya. Rekan mereka adalah Tabuni, Ewu Magai, Guspi Waker, Yumando Waker alias Ando Waker, Yohanis Magai alias Bekas, dan Yosep Kemong. Lalu ada Elan Waker, Lis Tabuni, Anggau Waker, dan Gandi Waker.
Tetapi, Markas Komando Daerah Militer III Timika, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) membantah adanya penyanderaan dan intimidasi di Mimika, Papua. Menurut mereka, masyarakat setempat justru beraktivitas seperti biasa seperti berkebun, beternak, maupun beribadah ke gereja.
Terlepas dari simpang siurnya pemberitaan tentang penyanderaan di Tembagapura, kita patut mengapresiasi TNI dan Polri yang telah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini dengan cara persuasif. Aparat akan menggunakan tokoh-tokoh berpengaruh untuk mendekati kelompok bersenjata agar membebaskan 1.300 warga yang disandera. Selain itu, prajurit yang ditugaskan ke Tembagapura bukan untuk berperang dengan mereka, tetapi menyadarkan agar melepaskan para sandera.
Apa pun alasannya, penyanderaan atau melokalisir warga di satu daerah yang dilakukan kelompok kriminal bersenjata itu tidak diperbolehkan. Tindakan penyanderaan jelas melanggar hukum. Pemerintah tidak akan membiarkannya, apalagi bila mengancam warga lainnya.
Pemerintah dan aparat memang seharusnya menghindari penggunaan senjata dan kekerasan dalam merespons tuntutan kelompok bersenjata di Papua. Penggunaan kekerasan hanya akan memicu eskalasi kekerasan yang lebih tinggi. Penggunaan kekerasan dapat mengakibatkan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Penggunaan kekerasan juga akan meningkatkan ketidakpercayaan warga Papua atas otoritas pemerintah Indonesia.
Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada pihak netral yang dipercaya kelompok bersenjata untuk berunding. Upaya damai meskipun rumit dan memakan waktu, keputusan yang bijak. Pemerintah harus melihat situasi ini sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap praktik-praktik kebijakan pemerintah di Papua. Pemerintah harus mampu menjawab akar persoalan di Papua secara menyeluruh. Ini termasuk berbagai ketidakdilan struktural dan impunitas pelanggaran HAM di Papua.
Opsi penggunaan kekuatan, seperti kontak senjata, harus menjadi pilihan terakhir jika upaya negosiasi tak membuahkan hasil. Namun harus dilakukan secara terukur. Penggunaan kekuatan memang dibutuhkan, tapi harus dibarengi upaya lain. Tidak bisa parsial TNI-Polri saja, tidak bisa pula hanya pendekatan ekonomi semata, harus komprehensif. Karena itu, kita berharap pemerintah memiliki political will yang kuat untuk menyelesaikannya.
Negosiasi penting guna menghindari korban, terutama masyarakat sipil korban penyanderaan. TNI dan Polri tak miliki akses berkomunikasi dengan penyandera. Aparat harus mengandalkan tokoh agama dan adat. 
Autentik
Pasal  351.
(1) (s.d.u. dg.  UU N. 18 / Prp / 1960.) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (Sv. 7 12; IR. 62; Rbg. 498.)
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (KUHP 90; Uitlev. 2-2’.)
(3)  Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 338.)
(4) Dengan sengaja merusak kesehatan orang disamakan dengan penganiayaan.
(5) Percbaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. (KUHP 37-1sub 2’, 53, 184 dst., 302, 353 dst., 356, 488.)
Pasal  352.
(1) (s.d.u. dg.  S. 1927-417; UUN. 18 / Prp / 1960.) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam karena penganiayaan ringan,dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

(2) Percbaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. (R. 95-2’, 116.)

Pasal  353.

(1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2)  Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90.)
(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2’, 338 dst., 340, 352, 355 dst., 487; Sv. 71; IR. 62; RBg. 498; Uitlev. 2-5’.)

Pasal 354

(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (KUHP 90, 3512)
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. (KUHP 37-1 sub 2’, 90, 338 dst., 356, 487; Uitlev. 2-5’.)

Pasal  355.

(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (Uitlev. 2 – 5’.)
(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2’, 336, 340, 3513, 353, 356 dst., 487.)

Komentar